Sabtu, 30 Oktober 2010

Cha no Yu


Di dalam dokumentasi sejarah Jepang tertua yang rampung ditulis tahun 840-an Nihon Koki tertulis bahwa tata cara minum teh diperkenalkan di Jepang pada abad ke-9, oleh biksu Eichū yang mendalami ilmu di Cina. Dalam dokumentasi ini dituliskan jika Eichū telah menyajikan sencha (the hijau Jepang) untuk kaisar Saga tahun 815. Tahun 816, kaisar memerintahkan untuk membudidayakan teh di wilayah Kinki Jepang.

Menurut legenda, teh sudah dikenal di Cina lebih dari seribu tahun lalu. Bentuk the yang populer di Cina saat Eichū menimba ilmu di sana adalah campuran teh dengan ramuan lain dalam bentuk semacam kue padat.

Pada awalnya, teh diminum sebagai obat sebelum akhirnya diminum sebagai minuman pemuas dahaga di seluruh Cina. Catatan kuno menyebutkan jika di awal abad 9, penulis Cina Lu Yu menulis seputar teh, budidayanya dan persiapan penyajiannya. Saat Lu Yu hidup, pengaruh Buddha sangat kuat dan kelak, hal ini terlihat jelas dalam pengembangan upacara minum teh Jepang.

Sekitar akhir abad ke-12, gaya penyajian teh disebut “tencha”, dengan matcha (bubuk teh hijau) yang ditempatkan dalam mangkuk, dituangi air panas dan kemudian diaduk sebelum disajikan. Gaya ini diperkenalkan oleh Eisai, pendeta Jepang lainnya yang kembali dari Cina. Eisai juga membawa biji teh yang dibudidayakannya dan menghasilkan teh berkualitas terbaik di Jepang.

Teh hijau berbentuk bubuk teh pertama kali digunakan dalam ritual keagamaan di kuil. Pada abad ke-13, ketika keshogunan Kamakura menguasai negeri dan kalangan samurai menduduki tahta pemerintahan tertinggi, teh dan kemewahannya menjadi semacam simbol status di kalangan mereka. Saat itu mulai diadakan sayembara yang terkait dengan teh.

Masa penting perkembangan teh berikutnya adalah periode Muromachi. Saat itu shogun Ashikaga Yoshimitsu memegang pucuk pemerintahan dengan gaya elegan dan villa mewah di Kyoto Utara tempat bertumbuhnya budaya Kitayama. Setelah itu budaya Higashiyama pun berkembang di Kyoto Timur bersama penguasa Ashikaga Yoshimasa. Periode ini menjadi cikal bakal masa berkembangnya budaya tradisional Jepang hingga seperti yang kita kenal sekarang.

Upacara minum teh berkembang sebagai “praktek transformatif” dengan estetika yang khas, khususnya ‘wabi’. Wabi, yang berarti ketenangan atau puncak kebaikan, ditandai dengan kerendahan hati, pengendalian diri, naturalisme, kedalaman, ketidaksempurnaan, dan asimetri yang menekankan kesederhanaan, tanpa hiasan benda-benda dan ruang arsitektur yang terpadu dalam keindahan yang lembut di masa itu serta bahan-bahan yang terawat dan terpelihara. Jukō Murata chanoyu dikenal dalam sejarah sebagai pengembang tata cara ini, karena itu ia disebut sebagai pendiri chadoo / tata cara teh dari Jepang. Ia mendalami Zen di bawah asuhan biarawan Ikkyū yang dianggap telah mempengaruhi konsep chanoyu di abad ke-15.

Pada abad ke-16, kebiasaan minum teh telah menyebar ke seluruh lapisan masyarakat di Jepang. Sen no Rikyu, merupakan tokoh sejarah dalam upacara minum teh, yang meneruskan majikannya Takeno Jōō’s mengembangkan konsep ichigo ichi-e, falsafah yang mengajarkan bahwa setiap pertemuan harus dihargai, karena hal itu tidak akan terulang. Ajaran ini terus disempurnakan dan dikembangkan dalam bentuk arsitektur Jepang dan kebun yang bercita rasa halus serta seni terapan yang tinggi. Dengan demikian chadō,jalan teh memiliki prinsip yang mengatur keharmonisan, kehormatan, kemurnian dan ketenangan yang menjadi pokok penting dalam upacara minum teh.

Source : Japan Foundation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar